Sebelum menguraikan ajaran-ajaran sesat dalam teologi Islam, ada
baiknya kalau dipaparkan faktor-faktor yang memotivasi timbulnya
ajaran-ajaran sesat. Sejauh penilaian penulis ada beberapa faktor yang
menyebabkan timbulnya ajaran-ajaran sesat, di antaranya:
- Bodoh tentang agama (اَلْجَهْلُ بِالدِّيْن). Perkara ini terjadi disebabkan karena beberapa hal, seperti, ketidak inginan seseorang mepelajari hakikat syari’at Islam dan aqidah Islam. Adakalanya belajar agama tapi tidak tamat, dalam artian setengah-tengah atau tanggung-tanggung, sehingga terjadi kesamaran dan tidak jelas dihadapannya yang hak dari yang batil, maka ia menganggap yang hak adalah batil dan yang batil adalah hak.
- Konflik politik dan Politisasi Agama (َالْخِلاَفُ السِّيَاسِيُ وَتَسْيِيْسُ الدِّيْن) sebagaimana yang terjadi dalam sejarah penubuhan sekte-sekte teologi Islam).
- Unsur kesengajaan (اَلتَّخْرِيْبْ), alias mempunyai niat jahat untuk menghancurkan sendi-sendi agama sehingga melakukan ”sabotase”. Usaha semacam ini identik dengan usaha yang dilakukan oleh kalangan sekuler dan liberal, melalui berbagai propaganda, seperti menamakan diri sebagai gerakan: rasionalis (al-‘Aqlaniyah), pencerahan (at-Tanwir), kebangkitan (an-Nahdhah), dan terminologi-terminologi lain yang mungkin dapat membuat sebagian orang merasa tertarik dan terpengaruh. Sebab slogan-slogan tersebut mengandung semangat kemoderenan (sprit of the times).
- Namun pada hakikatnya adalah "Tazwir ad-Din wa al-Afkar" (Mengaburkan agama, baik yang berkaitan dengan syari’at ataupun aqidah). Atau sekurang-kurangnya dengan bahasa yang lebih halus ”Reformasi Wacana keIslaman”, yang di dunia arab dikenal dengan istilah: ”Tajdid al-Din atau al-Khitab al-Islami”. Ada juga istilah yang baru-baru ini muncul, yaitu: ”Tathwir ad-Din” (Mengembangkan agama), yang kesemuanya ditopang dengan konsep barat yang dikenal dengan: ”Hermeneutika”. Pada 23/01/2010-eramuslim.com. penulis telah menulis sebuah artikel dengan judul ”Konsep Ta’wil Bathiniyah & Pengaruhnya Terhadap Hermeneutika (Liberal)”,
- Keliru dalam memahami konsep agama atau metode istinbat (خَطَأُ الْفَهْمِ عَنِ الدِّيْنْ), seperti kurangnya pengetahuain tentang kaedah-kaedah dalam berbagai disiplin ilmu Islam, ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir dan ilmu hadits. Sebagaimana yang terjadi dalam syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Imamiyah, mereka tidak membedakan ayat muhkamat ataupun ayat mutasyabihat, oleh karena itu seluruh ayat al-Qur’an bagi mereka dapat dita’wilkan sesuai pemahaman dan tuntunan mazhab mereka.[1]
- Berlebih-lebihan atau menganggap remeh ajaran agama (اَلإِفْرَاطُ وَالتَّفْرِيْطُ) atau dengan kata lain: ekstrim dan radikal, sehingga menimbulkan sifat ta’assub (merasa paling benar). Sifat ini telah digambarkan oleh Qur’an dalam beberapa firman Allah Swt:
- (وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ)
- “Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". (al-Baqarah:170).
Pada ayat lain Allah menegur Ahlu Kitab atas perbuatan ekstrim yang dilakukan oleh mereka:
(يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ)
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”. (an-Nisa:171).
Imam at-Thabari dalam tafsir ”Majma’ al-Bayan”, menyebutkan bahwa
ayat di atas ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, di mana Allah swt
mengecam berbagai ideologi mereka, Nasrani mengatakan bahwa Isa as
adalah anak Allah, sebagian mengatakan bahwa Isa adalah Tuhan dan
terlebih lagi dengan konsep Triniti yang dicipta sendiri oleh mereka.
Begitu halnya dengan Yahudi yang melekatkan sifat-sifat bagi Allah,
namun tidak layak bagi-Nya, seperti anggapan bahwa Allah hanyalah
sekedar zat yang fakir, tangan Allah terbelenggu dan sebagainya.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah saw melarang umatnya bersikap ekstrim terhadap dirinya:
(وَلاَ تَطْرُوْنِي كَمَا أَطَرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَم، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا: عَبْدَ اللهِ وَرَسُوْلَهُ)
“Janganlah kamu sekalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana
umat Nasrani memuji Isa, sebab saya hanyalah seorang hamba Allah, maka
katakanlah bahwa saya ini hamba Allah dan utusan-Nya”. (Riwayat Bukhari).
Oleh karena itu Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kesesatan berpikir
dan bid’ah-bid’ah yang ditimbulkan oleh golongan Khawarij bukanlah
karena mengingkari agama atau menolak kebenaran agama, tetapi karena
kebodohan dan kesesatan dalam memahami makna-makna al-Qur’an. Di tempat
lain Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa: ”Penyebab terjadinya kesesatan pada
sebagian kalangan pengamal tasawwuf adalah karena keyakinan mereka yang
mendalam dan berlebihan (ekstrim) terhadap para nabi dan para ulama
shaleh (Waliyullah)”[2] .
(وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً) -نوح:23-.
Dan mereka berkata:"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq
dan nasr", (QS. 71:23).
Perkara ta’assub (fanatisme) ini sebenarnya sudah dinafikan oleh para
ulama. Imam Abu Hanifah berkata: ”tidak sah bagi seseorang mengikuti
pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana sumbernya” [3].
Dengan nada yang sama pendiri mazhab Maliki, yaitu imam Malik dengan
tegas menyatakan: ”Saya hanyalah manusia biasa, pandangan saya boleh
salah dan betul, oleh karena itu teliti terlebih dahulu pandangan saya,
kalau pandangan saya sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah maka silahkan
ambil, namun kalau ternyata tidak sesuai maka silahkan tinggalkan
pandangan tersebut” .
Sedangkan pernyataan imam Syafi’i dalam hal ini: ”segala masalah yang
memiliki sandaran dari Rasulullah Saw, namun bertentangan dengan
pandanganku, maka saya akan tarik kembali pandangan tersebut, baik
ketika saya masih hidup atau sesudah aku mati” [5].
Tidak ketinggalan imam Ahmad bin Hanbal menyikapi segala bentuk
ta’assub mazhab dan menyerukan untuk kembali kepada sandaran pendapat
bagi masing-masing mazhab. Beliau berkata: ”jangan engkau mengikuti
pandanganku, begitupun pandangan Malik, Syafi’i, Auza’i dan at-Thauri,
tapi ambillah pandangan mereka dari sumber aslinya” [5]
Ini sebahagian dari faktor dan motif timbulnya ajaran sesat, dan
merupakan sentral kesesatan yang beredar dan berkembang dari zaman
klasik sehingga zaman sekarang (kontemporari). Oleh karena itu penulis
tidak menafikan adanya faktor lain selain 5 point yang telah disebutkan
di atas.
DEFINISI AJARAN SESAT
Ajaran adalah sebuah aqidah dan ideologi, atau sering disebut dan
dinamai sebagai kepercayaan. Dari segi etimologi ”Aqidah” berasal dari
perkataan arab: “عَقَدَ”, yang artinya mengikat, ikatan dan simpul,
diartikan juga sebagai kontrak, transaksi dan perjanjian”. Disebutkan
dalam kamus ”Syawarifiyyah” perkataan ’Aqada’ disinonimkan dengan:
”عَهِدَ” dan ”وَثَقَ” .[7]7
Oleh karena itu Aqidah diartikan sebagai “Ikatan yang erat kokoh dan
pegangan yang kuat”. Dikatakan demikian, karena aqidah tidak menerima
hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan.
Dalam agama Islam, aqidah berbentuk keyakinan, dan bukan berbentuk
amalan (Practical) atau perbuatan. Seperti seseorang berkeyakinan
tentang eksistensi (keberadaan) Allah swt, dan keyakinan tentang
diutusnya seorang Nabi dan Rasul. Bentuk plural daripada Aqidah adalah
(Aqaa`id) [8].
Adapun dari segi terminologi,
aqidah bermakna: “Perkara-perkara yang
dibenarkan dan diakui sepenuhnya oleh hati manusia, dan merasa tenang
dengan keyakinan tersebut, oleh karena itu tidak timbul sama sekali
keraguan dalam hatinya”. Dengan demikian, Aqidah itu adalah suatu
ajaran yang diyakini oleh seseorang dengan penuh keyakinan, sama halnya
keyakinan itu baik ataupun buruk.
Aqidah Islam adalah keimanan dan kepercayaan yang penuh dan mantap
terhadap Allah swt, para Malaikat, Kitab-Kitab, para rasul,hHari kiamat,
qadha dan qadar (takdir ilahi), percaya sepenuh hati terhadap
kejadian-kejadian di alam ghaib serta pokok-pokok ajaran agama, dan
tunduk terhadap perintah dan segala keputusan yang ditetapkan oleh
Allah, juga mengikuti ajaran agama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
saw.
Dalam bahasa arab, terdapat beberapa penamaan tentang ajaran-ajaran
sesat, diantaranya: “al-’Aqaa`id az-Zaighah”, “al-‘Aqaa`id ad-Dhaalah”
dan ”al-’Aqaa`id al-Munharifah”. Dan istilah terakhir ini yang banyak
digunakan oleh ulama, dan kesemuanya bermaksudkan ajaran sesat, yaitu
segala ajaran atau amalan yang dianggap sebagai ajaran Islam, namun pada
hakikat dan intinya berlawanan dan tidak sesuai dengan al-Quran dan
Sunnah.
Dan istilah “ad-Dhalaalah atau ad-Dhaalah” sendiri sering digunakan
oleh Ibnu Hazam dalam kitabnya “al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa
an-Nihal” [9], terutama ketika mengkritisi pandangan-pandangan Syi’ah dan Mu’tazilah.
Sementara para ulama nusantara, memberikan pengertian yang sama
tentang ajaran sesat sebagai ajaran atau amalan yang dibawa oleh
orang-orang Islam atau orang-orang bukan Islam yang mendakwa bahwa
ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam, atau berdasarkan kepada
ajaran Islam; sedangkan pada hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa
itu bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Quran dan
Al-Sunnah, serta bertentangan dengan ajaran ahli Sunnah Wal Jamaah” [10].
Perlu diungkapkan di sini bahwa ajaran sesat sebenarnya sangat erat
dengan masalah bid’ah, sebab bid’ah itu sendiri memiliki makna dan
haluan kepada kesesatan. Dan definisi bid’ah adalah sebagi berikut:
Bid’ah menurut etimologi, berasal dari kata "bada’a" yang berarti
menciptakan, Abda’tu Assyai’: menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan
kata “Abda’a, Ibtada’a dan Tabadda’a” berarti mendatangkan sesuatu yang
baru. Dan kata Badi’ adalah bermakna hal-hal baru yang aneh [11].
Sesuatu yang baru tidak selamanya berarti baru secara mutlak, karena
bisa jadi dia adalah hasil dari pembaharuan dan pengembangan apa-apa
yang telah ada sebelumnya yang ditampilkan dalam bentuk dan gaya atau
style yang baru.
Dari segi terminologi, para ulama berselisih faham tentang konsep Bid’ah, yaitu:
Dari segi terminologi, para ulama berselisih faham tentang konsep Bid’ah, yaitu:
Pertama:
Imam Nawawi memperluas pemahaman bid’ah. Menurutnya, bid’ah adalah
segala sesuatu yang belum dan tidak pernah wujud serta terjadi pada
zaman Nabi saw. Dan dia berpendapat bahwa bid’ah terbagi kepada dua,
yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah [12].
Pengertian dan pembagian ini telah disuarakan sebelumnya oleh salah
seorang ulama mazhab Syafi’i, yaitu imam Izzuddin bin Abdul as-Salam. Ia
berpendapat bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah dilakukan
oleh Nabi saw adalah Bid’ah.
Dan menurut pendapatnya bid’ah itu terbagi kepada lima bagian, yaitu:
Bid’ah Wajibah (Wajib), Bid’ah Muharramah (Haram), Bid’ah Makruhah
(Makruh), Bid’ah Mandubah (Sunnah) dan Bid’ah Mubahah (boleh). Dan untuk
mengetahuinya, maka bid’ah tersebut haruslah diukur berdasarkan
Syari’at. Apabila bid’ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang
diwajibkan oleh syari’at berarti bid’ah itu wajib, apabila termasuk ke
dalam perbuatan yang diharamkan berarti haram, dan seterusnya [13] .
Dalam kitab Manaqib Assyafi’i, menurut riwayat Baihaqi, Imam Syafi’i
berkata: “Segala hal baru (bid’ah) ada dua macam, pertama: bid’ah yang
bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma’ inilah bid’ah
Dhalaalah (sesat). Kedua: Apa-apa yang baru (bid’ah) yang baik yang
tidak bertentangan dengan al-Quran maupun as-Sunnah, atsar dan Ijma’,
maka hal itu tidak tercela.
Dalam nada yang sama Ibnu Atsir mengatakan:
“Bid’ah itu terbagi
menjadi dua, yaitu
bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Jika bertentangan
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka bid’ah itu termasuk golongan
sesat dan tercela, namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah
dianjurkan oleh agama maka bid’ah itu tergolong kedalam bid’ah yang
terpuji.
Bahkan menurut beliau, bid’ah hasanah pada dasarnya adalah
sunnah”[14] .
Kedua:
Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali dalam penjelasannya tentang pengertian
bid’ah adalah: hal-hal yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam dalil
syari’at. Adapun jika bid’ah itu sesuai dengan syara’ berarti ia tidak
digolongkan sebagai Bid’ah meskipun secara etimologi bermaknakan bid’ah [15].
Pengertian ini menunjukkan artian yang sempit terhadap bid’ah, sebab
baginya, bid’ah adalah perihal baru yang tercela saja, maka dari itu
tidak ada penamaan-penamaan bid’ah (hasanah, sayyi`ah, wajib, makruh
dll) seperti pengertian di atas. Jadi yang dikategorikan sebagai bid’ah
adalah perkara yang haram saja.
Pada hakikatnya, kedua pandangan di atas tidak kontradiktif antara
satu dengan yang lainnya. Sebab tujuannya sama, yaitu bahwa bid’ah
adalah perkara baru yang tidak ada landasan dalam syari’at. Dan yang
membedakan hanyalah bagaimana cara untuk membuat gambaran bahwa bid’ah
yang tercela adalah perbuatan atau amalan yang tidak berdasarkan kepada
syari’at, dan tidak sesuai dengan nilai dan ajaran agama [16].
Di samping itu, perkara yang dilakukan mendatangkan mudharat dalam
kehidupan agama. Itulah yang dimaksud dengan hadis Rasulullah saw.
"Kullu Bid’atin Dhalaalah", atau semua bid’ah sesat. Jadi kesimpulannya,
tidak semua bid’ah itu dilarang atau diharamkan, yang dilarang adalah
bid’ah yang bertentangan dengan agama .
Adapun argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan sayyi`ah, adalah sebagi berikut:
1) Rasulullah saw. bersabda:
(مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ
لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يُنْقَصُ
ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ لاَ يُنْقَصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا)
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik dalam Islam,
maka ia sendiri akan mendapatkan pahalanya dan pahala dari orang yang
melakukan kebaikan itu setelahnya, tanpa dikurangi sedikitpun pahala
mereka. Begitu juga, barang siapa yang membuat perkara buruk, maka ia
sendiri akan memperoleh balasannya serta balasan orang yang melakukan
keburukan itu setelahnya, tanpa sama sekali dikurangi dosa-dosa
orang-orang tersebut”. (Riwayat Muslimim).
Senada dengan hadits di atas, Rasulullah saw bersabda:
(مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَ
أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً
سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ)
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik, maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukan perkara baik itu
sampai hari kiamat, dan barang siapa membuat perkara buruk, maka ia akan
mendapatkan balasannya dan balasan orang yang melakukan perkara buruk
itu sampai hari kiamat”. (Riwayat Muslim)
Masih banyak lagi hadits yang senada dan seirama dengan hadits-hadits
yang telah dipaparkan diatas, dan kesemuanya menunjukkan tentang adanya
pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi`ah.
2) Ibnu Umar menamakan shalat Dhuha secara berjamaah
di mesjid dengan nama Bid’ah, padahal hal itu merupakan perbuatan yang
terpuji. Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: saya dan ‘Urwah bin
Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di kamar
Aisyah ra., sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha
secara berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang
tersebut, dan beliau menjawab "Bid’ah".
3) Perkataan Umar ra. tentang shalat tarawih secara
berjamaah di mesjid pada bulan ramadhan:"نِعْمَةُ الْبِدْعَةِ هَذِهِ ",
diriwayatkan dari Abdurahman bin Abdu al-Qari, ia berkata: Suatu malam
pada bulan ramadhan, saya keluar bersama Umar bin al-Khattab ra. ke
mesjid di mana orang-orang terpecah dan terbagi-bagi dalam melaksanakan
shalat tarawih sendiri-sendiri, Umar ra. berkata:"saya melihat jika
orang-orang tersebut dikumpulkan dibelakang seorang imam pastilah sangat
indah". Maka beliaupun menyuruh Ubay bin Ka’ab untuk melakukan shalat
tarawih secara berjamaah. Pada malam yang lain ketika saya keluar
kembali bersama Umar ra., orang-orang telah shalat tarawih secara
berjamaah di mesjid, maka umar ra. pun berkata:"Ni’mat al-bid’ati
hazihi".
Oleh karena itu, Mayoritas ulama dari berbagai mazhab, seperti
Izzuddin bin Abdu Assalam dari mazhab Syafi’i, an-Nawawi dan abu Syamah
dari mazhab Maliki, al-Qarafi dan az-Zarqani dari mazhab Hanafi, Ibnu
Abidin dari mazhab Hambali, Ibn Al Jauzi serta Ibnu Hazam dari mazhab
ad-Dzahiriah, kesemuanya sependapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua
bahagian, yaitu : bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran sesat terkait
erat dengan “bid’ah” dalam agama Islam. Dan memiliki tiga kriteria,
yaitu: membuat hal baru, menciptakan permasalahan dalam agama, dan
bertentangan dengan syari’at Islam.(Bersambung)
DR. Kamaluddin Nurdin MarjuniBA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)
Senior Lecturer
Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar