Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute
Dalam sebuah kesempatan, penulis bersama seorang ulama,
bersilaturrahim ke kediaman salah seorang pimpinan Pondok Pesantren
besar di Jawa Tengah yang sangat berpengaruh.
Diantara perbincangan tentang masalah da’wah dan negara, ada satu hal
yang cukup mengagetkan kami, yakni pendapat beliau yang menyatakan
bahwa Demokrasi tidak diakui Islam, mengarah pada kemusyrikan bahkan
masuk kategori kekufuran.
Alasannya, demokrasi berarti pemberian kewenangan untuk menetapkan
hukum kepada rakyat. Padahal dalam Islam, rakyat tidak berhak menetapkan
hukum. Allah lah yang memiliki hak prerogatif menetapkan hukum,
sebagaimana firman-Nya:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am, 6:57)
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka ia termasuk golongan kafir.” (QS. Al-Maaidah,5:44)
Pendapat beliau ini ternyata juga di-amini oleh beberapa ulama
berpengaruh di Jawa Tengah, Jakarta, dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam
pemilu 2009 yang lalu, suara partai-partai Islam mengalami penurunan
yang cukup signifikan.
Sementara, disisi lain, berkembang opini di kalangan penganut Islam
liberal bahwa Islam adalah musuh demokrasi, tidak toleran, membelenggu
dan otoriter.
Benarkah kedua pendapat yang berbeda kutub tersebut?
Masalah prinsip ini harus dijelaskan dengan tuntas dan didudukkan
secara proporsional, agar Islam tidak ditimpakan kesalahan penafsiran
yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana
pun juga, mereka bisa salah dan bisa benar.
Penulis memohon kepada Allah agar berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil syari’at dan hujjah balighah.
Kaidah dalam Hukum
Para ulama salaf telah menyepakati suatu kaidah: “Hukum tentang sesuatu merupakan derivasi dari konsepsinya.”
Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak
mengetahui secara pasti tentangnya, maka ketetapan hukumnya dianggap
cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar.
Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa hakim yang menetapkan
hukum tanpa mengetahui permasalahannya, akan masuk ke dalam neraka,
seperti orang yang mengetahui kebenaran namun menetapkan yang lain.
Dalam konteks ini, apakah demokrasi yang didengung-dengungkan
negara-negara di seluruh dunia, diperjuangkan oleh bangsa-bangsa Barat
maupun Timur, setelah berperang melawan penguasa diktator dengan
tumpahan darah dan ribuan bahkan jutaan nyawa jadi korban, dijadikan
sarana ampuh bagi da’wah untuk melawan hegemoni penguasa zhalim yang
mengaku muslim, termasuk kemungkaran atau bahkan kekufuran? Apakah
mereka yang berpendapat demokrasi itu kufur, mengerti akan hakikat atau
substansi demokrasi?
Substansi Demokrasi
Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya
demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu
dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya.
Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih
seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.
Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat syura (permusyawaratan) dan bai’at (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.
Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam
mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain
mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu
mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi
keputusan mayoritas.
Islam juga mengandung ajaran bahwa tangan Allah bersama jama’ah (rakyat banyak). Rasulullah saw bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Kalau kalian berdua sepakat dalam suatu hal, aku tidak akan menentang pendapat kalian berdua.”
[1] Ini menunjukkan bahwa aspirasi dari jumlah orang yang lebih
banyak harus didahulukan dari aspirasi segelintir orang, termasuk
pendapat Rasulullah sendiri (dalam masalah ijtihadi duniawi).
Di dalam Islam, setiap rakyat berhak memberikan saran atau nasihat
kepada penguasa, menganjurkannya berbuat baik dan meninggalkan
kemungkaran; tentu dilakukan dengan tetap memperhatikan etika dan cara
mengingatkan dengan baik.
Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama
kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak
menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang
menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang
nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat
kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.
Hal penting lainnya dalam penerapan sistem demokrasi adalah Pemilihan
Umum (pemilu) dan pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak;
dimana secara umum bisa dinilai tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik
dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah
menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu
atau penjahat.
Relevansi Demokrasi dengan Islam
Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.
1. Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang
bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:
- Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah.
- Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
- Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
- Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bid’ah dalam agama; generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita, maka hal tersebut ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya, “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i).
- Demikian pula ada hadits yang menyatakan, “Perkataan yang paling
benar adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi
Muhammad, seburuk-buruk hal adalah sesuatu yang diada-adakan.
Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i) [2]
- Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya? Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.
2. Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya
solusi yang tepat untuk mengatasi problematika negara, pemerintahan,
rakyat dan tanah air. Mereka menerima demokrasi Barat bulat-bulat,
termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial kemasyarakatannya
yang bebas tanpa batas.
Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin
menerapkannya persis sama dengan praktek demokrasi di negara-negara
Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah, tidak mengenal akhlak,
mengabaikan ibadah dan menyepelekan syari’ah. Bukan hanya itu, demokrasi
Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.
Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang
berujung pada kekalahan dan melahirkan mentalitas ‘kaum terjajah’ yang
bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku penguasa penjajahnya.
3. Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem
demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan,
bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya.
Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak
mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak
mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya
mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan
fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya
pemerintahan.
Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat
memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang
dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada
pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan
memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat
antara pemerintah (eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan
tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah yang berkaitan dengan syari’ah;
maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada Majelis Ulama
atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang
berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul,
dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian. Apabila kalian berselisih
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian.” (QS. An-Nisaa’, 4:59).
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah
sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang masuk dalam kategori
mubah, maka yang pengambilan keputusannya diupayakan melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat.
Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan
pendapat melalui suara terbanyak (voting); karena pendapat dua orang
atau lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat satu orang. Hal ini
sesuai dengan logika syari’at Islam, disamping logika politik yang
memang “harus ada yang diunggulkan”. Yang diunggulkan ketika terjadi
perselisihan pendapat adalah jumlah yang terbanyak.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari orang berdua.” (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim). [3]
Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Seandainya kalian berdua menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua.” (HR. Ahmad). [4]
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan
daripada pendapat seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi
dalam masalah-masalah di luar lingkup syari’at dan apa yang telah
ditetapkan Allah.
Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi
harus mengikuti pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat
memilih untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Madinah, walau
beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat untuk
bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di
jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.
Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar
bin Khathab tentang enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai Tim Formatur sekaligus diberi amanah untuk memilih salah
seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara terbanyak.
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk
kepada kandidat terpilih. Jika dalam voting tersebut suara yang
diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari luar tim
formatur, yakni Abdullah bin Umar.
Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap “golongan
terbesar” dan perintah untuk mengikutinya. “Golongan terbesar” ini
maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat manusia.
Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh
rakyat dalam penentuan Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang
harus diputuskan dan membutuhkan pendapat mayoritas.
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu
golongan atau tujuh puluh dua golongan; dan sesungguhnya umat ini
(Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka. Semuanya masuk
neraka kecuali golongan terbesar.” (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad) [5]
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya,
bahwa pendapat mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang
yang serupa.
Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat
yang benar walau hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang
keliru walau didukung mayoritas suara, adalah untuk hal-hal yang
dikuatkan nash syari’at dengan dalil dan hujjah yang kuat,
jelas dan tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah
yang dimaksud dengan ungkapan: “Yang disebut jama’ah adalah yang sejalan
dengan kebenaran, sekalipun engkau hanya sendirian.”
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar nash-nya, atau ada nash-nya namun mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada nash
lain yang bertentangan dengannya atau lebih kuat darinya; maka
diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa
menuntaskan silang pendapat.
Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak
merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada satupun dalil dalam
syari’at yang melarang proses pengambilan keputusan dengan cara seperti
ini.
Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan
berarti sistem ini tercela dan harus ditolak. Bukankah Allah telah
memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan penggunaan akal fikiran?
Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung,
mengambil pelajaran dan hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad
itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah bertentangan atau bersesuaian
dengan ajaran Allah.
Dalam sistem demokrasi, menurut hemat penulis, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: musyawarah, amar ma’ruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme check and balance, pengawasan (mutaba’ah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.
Mengenai penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan
Allah dalam memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada
manusia/rakyat, tidaklah benar. Karena pembentukan pemerintahan yang
didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk menghindari tirani
kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok
elit tertentu.
Demikian pula penilaian bahwa demokrasi itu adalah sistem tercela
karena merupakan produk impor, juga tidak tepat. Tidak ada satupun
ketetapan syari’at yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis
atau konsep dari non-muslim. Sewaktu perang Al-Ahzab, Nabi saw mengambil
pemikiran bangsa Persia berupa strategi bertahan dengan menggali parit,
bukan membangun benteng seperti biasa.
Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang
musyrik untuk mengajari ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada kaum
muslimin. Inilah yang disebut hikmah. Hikmah adalah milik kaum muslimin
yang hilang lalu ditemukan. Jadi umat Islam berhak mendapatkan miliknya
yang hilang tersebut.
Sementara, yang dilarang adalah mengimpor nilai-nilai yang
membahayakan aqidah dan akhlak dan tidak memberikan manfaat. Sementara
kita mengambil demokrasi dalam metode, mekanisme dan tata caranya saja,
yang harus diakui memang lebih baik dibanding sistem lainnya; bukan
filosofinya yang mengagungkan individualisme dan kebebasan tanpa
dilandasi agama.
Yang kita inginkan adalah demokrasi yang dilandasi nilai-nilai agama,
mengedepankan akhlak dan wawasan keilmuan, serta memprioritaskan
nilai-nilai luhur tersebut di atas nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem
demokrasi karena Islam sudah memiliki sistem syura yang lebih baik dan
lebih syar’i.
Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:
Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:
Pertama, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang
wajib, tetapi termasuk kategori yang sunnah. Syura hanya diposisikan
sebagai sebuah ketentuan yang ‘sebaiknya’ diterapkan dan diterapkan
hanya sebagai ‘penyempurna’ bukan sebagai dasar atau fondasi.
Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang
juga diperkuat oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan,
“Syura adalah salah satu kaidah syari’at dan bagian dari fondasi hukum
Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama dan
ilmuwan/pakar, maka ia wajib dimakzulkan.
Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini.” [6]
Kedua, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura
hanya sebagai ‘teknis’ atau ‘metode’, bukan tuntutan. Walau sebagian
fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu tuntutan agama yang hukumnya
wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang wajib
dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan
orang-orang yang memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.
Setelah mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya, penguasa boleh
tetap menggunakan pendapatnya sendiri, dengan syarat ia bertanggung
jawab sendiri secara pribadi. Penguasa tidak diharuskan mengikuti
pendapat dan pandangan para ulama dan ilmuwan tadi, karena kewajibannya
hanya bermusyawarah saja; sebagaimana dipahami dalam firman Allah swt:
“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila
kamu telah ber’azam, maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang tawakkal.” (QS. Ali Imran, 3:159).
Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang ‘minor’
tentang syura tersebut, mengingat dalil-dalil tentang ‘mengikatnya’
syura serta hasilnya bagi penguasa atau pemimpin dalam mengambil
keputusan lebih kuat dan logis.
Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, “Umar bin Khathab
menjadikan syura sebagai institusi tertinggi dalam lembaga
kekhilafahan.”
Al-Bukhary juga menyatakan, “Para pemimpin setelah Nasbi saw biasa
bermusyawarah dengan ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk
mengambil keputusan yang tepat.
Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Qur’an dan Ad-Sunnah, mereka tidak
akan beralih ke rujukan lain. Orang-orang yang mendalami Al-Qur’an
adalah mereka yang paling sering dimintai pendapat oleh Umar, baik tua
maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Al-Fath, dalam Al-Adabul Mufrad, riwayat Al-Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw bersabda, “Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu.” Kemudian Abu Bakar dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan Umar.
Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam
menetapkan hukum. Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib
tentang firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian
mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu.”
(QS. Al-Mujaadilah, 58:12). Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan
dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian turun ayat selanjutnya yang
membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.
Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat
normatif, global dan sederhana, mengingat problematika sosial, politik
dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura itu dimunculkan pertama kali
belum sekomplek dan serumit masa sekarang.
Ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia semakin berkembang dengan
segala kompleksitas permasalahannya, maka diperlukan ijtihad yang lebih
dalam untuk merinci sistem syura tersebut sehingga mampu menjawab
tuntutan zaman. [7]
Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu
dalam sistem demokrasi, yang notabene merupakan hasil uji coba
bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami berbagai problematika
dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan
sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau
spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura
berspiritkan ”rabbaniyyah”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “insaniyyah”. Sistem syura bernilai “religiuitas”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.
Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan
aplikatif. Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif
sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan
Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk
pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga
Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga
Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan
kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances,
bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan
moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem
sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu
dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang
terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda
pemerintahan.
Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi
diktatorisme politik, ekonomi dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang
kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem demokrasi,
sehingga demokrasi itu menjadi “islami”.
Melalui mekanisme yang berlaku dalam sistem demokrasi, kita dapat
melakukan audit terhadap seluruh produk-produk demokrasi berupa
Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang (UU), kemudian
memperjuangkan amandemen UUD/UU tersebut melalui parlemen, agar
pasal-pasal yang terdapat di dalamnya sesuai dengan syari’at Islam.
Apabila kita mampu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, bukan
tidak mungkin sebagian besar atau bahkan seluruh UU tersebut akan sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kalau ini terealisasi, maka secara otomatis pemerintahan yang
berkuasa mewujud menjadi pemerintahan Islam, karena menjalankan seluruh
UU yang bersumber dari Al-Qur’an dan Ad-Sunnah. Pada saat itulah negara
tersebut layak disebut negara Islam (Daulah Islamiyah).
Jadi sebenarnya, sistem demokrasi yang telah diberi spirit
Rabbaniyyah dan diisi dengan nilai-nilai religiusitasd, dapat digunakan
sebagai sarana yang efektif untuk Iqamatud-Daulah al-Islamiyyah dalam da’wah, apabila kita bijak menyikapinya.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Referensi:
- HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no.17994 dari Abdurrahman bin Ghanam. Juga, HR. Thabrani, dalam Al-Ausath, jld 7, hlm 212 dari Al-Barra bin Azib.
- HR. Muslim dalam Bab Al-Jum’ah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-Nasa’i dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.
- Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani (Bukhari –Muslim).
- Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ari. Di dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya (tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan Takhrijul-Musnad.
- Lihat Al-Mu’jamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh
Al-Haitsamy di dalam Majma’uz-Zawa’id. Ath-Thabrany juga meriwayatkan
dalam Al-Ausath wal Kabir, serupa dengan hadits di atas.
Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara
mauquf pada Ibnu Abi Aufa, dia berkata, “Wahai Ibnu Jahman, hendaklah
kamu bersama mayoritas umat, jika kamu mendengar aspirasi umat kepada
penguasa. Datangilah penguasa tersebut, sampaikan aspirasi umat,
mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu
bukan orang yang lebih tahu dari dia.” (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad,
no.1941)
Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Ad-Sunnah dari Ibnu Umar,”Tidak mungkin bagi Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas jama’ah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka.” Menurut Al-Albany, isnadnya dha’if. Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan. - Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.
- Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu
Hibban. Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terkandung musyawarah
yang berkaitan dengan penetapan hukum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar